Selasa, 27 September 2016

KAIDAH SOSIAL DAN CONTOH PELANGGARANNYA



Manusia yang pada hakikatnya sebagai makhluk sosialis tidak akan pernah bisa jika ia hidup seniri tanpa ada bantuan dari orang lain. Interaksi tersebut akan membentuk sebuah kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain, yang berada dalam lingkup  tertentu. Untuk memewujudkan hidup yang tertata dan aman, diperlukan sebuah aturan yang dapat memberikan batasan terhadap perilaku manusia, yang mana aturan tersebut harus dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang dimaksud biasanya disebut dengan hukum. Antara hukum dan masyarakat saling berkorelasi atau berhubungan satu dengan lain. Hukum tanpa ada masyarakat maka takkan bermakna apa-apa, karena tak ada subyek yang menjalankan apa yang ditetapkan didalamnya. Sementara masyarakat tanpa adanya hukum, maka akan terjadi kekacauan karena perilaku manusia yang seenaknya sendiri tanpa ada yang membatasinya.
Peraturan yang dibuat untuk menciptakan ketertiban, tentunya tidak hanya satu macam, akan tetapi banyak sekali macamnya. Hal itu bertujuan untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan agar semuanya bisa tertib dan aman. Dalam lingkup kehidupan bernegara, semua warga yang tinggal di Negara ini berada dalam satu payung hukum yang sama yang dikendalikan oleh pemerintah yaitu terkait hukum positif. Sementara itu jauh sebelum terbentuk satu hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara, masyarakat itu sudah mempunyai aturan sendiri yang berasal dari kepercayaan mereka masing-masing walaupun hal tersebut tidak dalam bentuk tertulis, tetapi mereka dengan kesadaran hati secara sukarela mematuhi aturan tersebut. Hukum yang dimaksud tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat dan hukum agama.
Sebuah ungkapan yang begitu simple untuk melukiskan betapa sebuah hukum/aturan itu begitu bermakna bagi kehidupan yaitu dimana ada masyarakat di situ pasti ada hukum “ Ubi Societas Ibi Ius” yang itu merupakan pendapat dari Cicero. Pendapat tersebut benar adanya karena untuk menciptakan tatanan masyarakat yang terbib, damai dan adil haruslah ditunjang oleh kepastian hukum tertentu.
Seperti tubuh yang akan berfungsi dengan baik jika seluruh anggota tubuh dan struktur didalamnya bekerja dengan baik, jikalau ada bagian yang tak normal maka akan berpengaruh pada bagian yang lain atau bisa juga malah berakibat fatal seperti contonya ketika nafas dalam tubuh ini berhenti dan jantung tak bekerja sebagaimana mestinya maka bisa dipastikan suplai oksigen dalam darah akan terhenti dan berakhir pada kematian. Nah, Begitu juga dengan kehidupan ini yang mana terdapat struktur sosial yang menyusun kehidupan dalam masyarakat. Struktur sosiala tersebut ada 2 yaitu:
1.      Unsur statis ialah sebuah komponen dimanapun masyarakat pasti ada unsur-unsur yang sama  (tidak akan berubah sampai kapanpun), dimana unsur ini ada 3 yaitu:
a.    Kaidah sosial
Dibagi menjadi empat:
1)      Kaidah kepercayaan
2)      Kaidah kesopanan
3)      Kaidah kesusilaan
4)      Kaidah hukum
b.    Lembaga sosial
c.    Pelapisan sosial
2.      Unsur dinamis merupakan bentuk interaksi antara unsur-unsur statis.
Nah, selanjutnya saya akan membahas mengenai kaidah sosial...
Kaidah sosial merupakan aturan yang berlaku bagi masyarakat dan tentunnya ketika hal tersebut dilanggar maka akan mendapatkan sanksi atau hukuman baik secara langsung ataupun tidak langsung dan mengenai aturan ini disetiap masyarakat ada yang sama ada juga yang sedikit berbeda, yang jelas semuanya bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam hidup. Kaidah sosial ini  dibagi menjadi 4 yaitu:
1.      Kaidah kepercayaan.
Kaidah ini merupakan sebuah aturan yang asal-usulnya dari Tuhan untuk mengatur sikap batin manusia agar jangan ada manusia yang jahat. Sanksinya berasal dari Tuhan dalam artian tidak konkret (tidak secara langsung) didapatkan oleh yang melanggar melainkan nanti akan didapat atau dengan kata lain dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Kaidah kepercayaan ini hanya membebani kewajiban dan aturan yang dimuat didalamnya berisi tentang perintah dan larangan.
2.      Kaidah kesusilaan
Kaidah ini merupakan sebuah aturan yang asal usulnya dari hatinya sendiri, yang bertujuan untuk menyempurnakan manusia agar tidak jadi penjahat. Sanksi dari kaidah ini juga dari dirinya sendiri seperti rasa bersalah. Daya kerjanya kaidah ini membebani kewajiban.
3.      Kaidah kesopanan
Kaidah ini merupakan sebuah aturan yang asal usulnya dari masyarakat atau kekuatan luar, mempunyai sifat yang memaksa, tujuannya adalah agar manusia bertindak melakukan kewajibannya dan orang lain tidak menjadi korban. Daya kerja kaidah kesopanan ini membebani kewajiban. Kaidah ini bisa dikatakan sebuah bentuk kesepakatan bersama, sehingga sanksi bagi yang melangggar akan langsung dari masyarakat.
4.      Kaidah hukum
Kaidah ini merupakan sebuah aturan yang berasal dari kekuatan luar, ditujukan pada sikap lahir, bertujuan untuk menjaga ketertiban. Daya kerjanya membebani kewajiban dan memberikan hak, serta mempunyai sanksi yang tegas dan jelas.

Dari pemaparan mengenai kaidah sosial tersebut dan macamnya, akau mempunyai pengalaman yang menarik tentang perbutan yang melanggar kaidah sosial, tetapi ini tidak patut untuk dicontoh, simak baik-baik ya kawan...
Cerita ini berawal ketika aku baru saja masuk di semester empat. Yaa... saat itu perkuliahan semester empat baru saja dimulai kegiatan belajarnya sekitar 2 minggu. Memang sih belum begitu banyak tugas yang menghimpit, namun karena ada beberapa dosen yang merekomendasikan untuk memiliki buku tertentu untuk menunjang kegiatan belajar, maka dalam benak setiap mahasiswa pasti menginginkan juga untuk memiliki buku tersebut apapun bentuknya. Bisa buku asli ataupun hanya fotokopi. Dikarenakan pada saat itu belum begitu kenal dan akrab dengan dosennya sehingga tidak berani untuk meminjam milik beliau apalagi malah untuk difotokopi.
Selepas kegiatan perkuliahan selesai aku dan sahabatku ngobrol-ngobrol tentang keinginan kita untuk bisa memiliki buku yang direkomendasikan dosen kemarin. Akhirnya aku dan sahabatku langsung berkelililing ke toko buku sekitar kampus, namun sama sekali tak membuahkan hasil. Di perjalan pulang aku teringat bahwa dosen kemarin juga berpesan bahwa jika di toko buku sekitar kampus tidak ada maka bisa mencari ke toko buku wilis yang ada di Malang. Dan pada akhirya aku dan sahabatku memutuskan untuk pergi ke Malang.
Keputusan tersebut memang begitu cepat ku ambil karena aku benar-benar ingin segera memiliki buku itu. Dan atas saran sahabatku sebaiknya membicarakan masalah ini ke teman-teman sekelas, tetapi pada saat aku mengajak teman-teman untuk menemani aku dan sahabatku ke Malang, eee,.. teman-temanku tak ada yang merespon dan banyak alasan ini itu. Melihat hal tersebut aku dan sahabatku berunding tentang bagaimana langkah selanjutnya, apakah akan tetap pergi ke Malang atau tidak. Dan akhirnya kita bersepakat untuk tetap pergi ke Malang.
Tepat di hari Minggu sekitar pukul 13.00 aku menghubungi orang tuaku dan meminta izin untuk pergi ke Malang, karena pada saat itu aku sedang berada di Pondok , jadi harus izin ke Abah (sebutan bagi pemimpin pondok pesantren) dan orang tua ku dirumah. Pada saat meminta izin tersebut aku terpaksa harus berbohong kepada Bapak dan ibuku bahwa aku pergi ke Malang bersama teman-teman, padahal aku kesana hanya berdua dengan sahabatku. Semua itu kulakukan agar aku diizinkan, dan dengan semua lasan yang ku ajukan, kedua orang tuaku mengizinkan.
Setelah izin ku kantongi, aku dan sahabatku langsung bergegas menuju Malang tanpa tahu akan keadaan ataupun alamat toko buku itu. Aku hanya berpegang pada tanda panah atau petunjuk jalan arah menuju Malang. Tak ada pengalaman sedikitpun akan lingkungan di Malang, bagiku yang terpenting adalah mengikuti petunjuk dan segera sampai di toko buku itu sebelum tutup tokonya.
Perlahan lahan jalan arah ke Malang telah berhasil ku lalui, tiba pada saat di tikungan setelah gerbang “selamat datang di kota Malang” disitu terdapat segerumbulan polisi yang sedang melakukan razia lalu lintas. Astaghfirullah...kendaraanku dihentikan oleh polisi dan diminta untuk menunjukkan kelengkapan surat berkendara, jikalu tadi aku yang memboncengkan pasti tak akan kena denda tilangan, akan tetapi tadi yang memboncengkan itu sahabatku dan dia tidak mempunyai SIM, mau tidak mau kita terkena tilang dan membayar denda sebesar Rp. 50.000,-. Selesai perkara itu, aku langsung melanjutkan perjalanan. Apesnya lagi, ditengah perjalan itu hujan turun begitu deras dan kita tidak membawa jas hujan. Mengingat kita mengejar waktu yang semakin malam, aku tak menghiraukan hujan dan tetap memacu kendaraan menuju Wilis.
Alhamdulillah, sekitar ba’da adzan maghrib aku dan temenku sampai  di Toko buku Wilis, dan disitu kakakq menelpon lalu dia menanyakan keadanku. Saat itu juga aku langsung mengaku dan menceritakan sebenarnya dengan jujur apa yang telah aku perbuat. Dia langsung memarahiku di telfon, dan menyarankan ku untuk tidak langsung pulang karena hari telah malam. Dan pada akhirnya setelah selesai aku membeli buku, aku langsung mencari tempat kosnya adik keponakanku yang kebetulan dekat dengan toko buku itu, dan aku menginap disana semalam.
Keesokan harinya, ketika masih subuh aku dan sahabtku bergegas untuk segera pulang karena jam 8 itu sudah harus masuk kuliah. Di perjalanan pulang, ketika jalan masih sepi dan disitu hanya kendaraanku saja yang melintas, tiba-tiba dari belakang ada seorang pemuda yang juga mengendarai motor langsung  mencoba untuk menggoda aku dan temanku dan dia berusaha untuk mengambil barang-barangku. Tetapi alhamdulillah, beruntung aku dan sahabatku bisa lolos dari kejadian itu dan bersyukur juga bisa sampai ke Tulungagung dengan selamat.
Itulah sedikit cerita pengalamanku yang mana disitu aku melanggar kaidah kepercayaan yang salah satu didalamnya memuat perintah dari Allah untuk berbakti kepada kedua orang tua tetapi aku malah melanggarnya dengan berbohong kepadanya. Itu seharusnya tidak boleh dilakukan, karena jika perintah Allah itu dilanggar maka kita akan menanggung dosanya. Disitu memang aku tidak langsung mendapatkan hukuman secara fisik, tetapi Allah menunjukkan hukumannya lewat kejadian-kejadian yang itu terjadi tanpa aku duga. Dengan kejadian itu aku menjadi belajar bahwa memang benar bahwa ridho Allah itu berada di bawah Ridho kedua orang tua, dan jika aku melanggarnya aku sendiri yang akan menanggung akibatnya. Selain itu, dalam ceritaku tersebut aku juga melanggar kaidah hukum karena mengendarai sepeda motor tanpa melengkapinya dengan surat-surat berkendara. Semoga kejadian itu benar benar bisa dijadikan pengalaman berharga,dan  tidak perlu untuk diulangi lagi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar