Manusia
yang pada hakikatnya sebagai makhluk sosialis tidak akan pernah bisa jika ia
hidup seniri tanpa ada bantuan dari orang lain. Interaksi tersebut akan
membentuk sebuah kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain, yang berada
dalam lingkup tertentu. Untuk
memewujudkan hidup yang tertata dan aman, diperlukan sebuah aturan yang dapat
memberikan batasan terhadap perilaku manusia, yang mana aturan tersebut harus
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang dimaksud biasanya
disebut dengan hukum. Antara hukum dan masyarakat saling berkorelasi atau
berhubungan satu dengan lain. Hukum tanpa ada masyarakat maka takkan bermakna
apa-apa, karena tak ada subyek yang menjalankan apa yang ditetapkan didalamnya.
Sementara masyarakat tanpa adanya hukum, maka akan terjadi kekacauan karena
perilaku manusia yang seenaknya sendiri tanpa ada yang membatasinya.
Peraturan
yang dibuat untuk menciptakan ketertiban, tentunya tidak hanya satu macam, akan
tetapi banyak sekali macamnya. Hal itu bertujuan untuk menjangkau seluruh aspek
kehidupan agar semuanya bisa tertib dan aman. Dalam lingkup kehidupan
bernegara, semua warga yang tinggal di Negara ini berada dalam satu payung
hukum yang sama yang dikendalikan oleh pemerintah yaitu terkait hukum positif.
Sementara itu jauh sebelum terbentuk satu hukum yang berlaku bagi seluruh warga
negara, masyarakat itu sudah mempunyai aturan sendiri yang berasal dari
kepercayaan mereka masing-masing walaupun hal tersebut tidak dalam bentuk
tertulis, tetapi mereka dengan kesadaran hati secara sukarela mematuhi aturan
tersebut. Hukum yang dimaksud tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat dan
hukum agama.
Sebuah
ungkapan yang begitu simple untuk melukiskan betapa sebuah hukum/aturan itu
begitu bermakna bagi kehidupan yaitu dimana ada masyarakat di situ pasti ada
hukum “ Ubi Societas Ibi Ius” yang itu merupakan pendapat dari
Cicero. Pendapat tersebut benar adanya karena untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang terbib, damai dan adil haruslah ditunjang oleh kepastian hukum
tertentu.
Seperti
tubuh yang akan berfungsi dengan baik jika seluruh anggota tubuh dan struktur
didalamnya bekerja dengan baik, jikalau ada bagian yang tak normal maka akan
berpengaruh pada bagian yang lain atau bisa juga malah berakibat fatal seperti
contonya ketika nafas dalam tubuh ini berhenti dan jantung tak bekerja
sebagaimana mestinya maka bisa dipastikan suplai oksigen dalam darah akan
terhenti dan berakhir pada kematian. Nah, Begitu juga dengan kehidupan ini yang
mana terdapat struktur sosial yang menyusun kehidupan dalam masyarakat.
Struktur sosiala tersebut ada 2 yaitu:
1. Unsur
statis ialah sebuah komponen dimanapun masyarakat pasti ada unsur-unsur yang
sama (tidak akan berubah sampai
kapanpun), dimana unsur ini ada 3 yaitu:
a. Kaidah
sosial
Dibagi menjadi empat:
1) Kaidah
kepercayaan
2) Kaidah
kesopanan
3) Kaidah
kesusilaan
4) Kaidah
hukum
b. Lembaga
sosial
c. Pelapisan
sosial
2. Unsur
dinamis merupakan bentuk interaksi antara unsur-unsur statis.
Nah,
selanjutnya saya akan membahas mengenai kaidah sosial...
Kaidah
sosial merupakan aturan yang berlaku bagi masyarakat dan tentunnya ketika hal
tersebut dilanggar maka akan mendapatkan sanksi atau hukuman baik secara
langsung ataupun tidak langsung dan mengenai aturan ini disetiap masyarakat ada
yang sama ada juga yang sedikit berbeda, yang jelas semuanya bertujuan untuk
menciptakan keteraturan dalam hidup. Kaidah sosial ini dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Kaidah
kepercayaan.
Kaidah
ini merupakan sebuah aturan yang asal-usulnya dari Tuhan untuk mengatur sikap
batin manusia agar jangan ada manusia yang jahat. Sanksinya berasal dari Tuhan
dalam artian tidak konkret (tidak secara langsung) didapatkan oleh yang
melanggar melainkan nanti akan didapat atau dengan kata lain dimintai
pertanggung jawaban di akhirat. Kaidah kepercayaan ini hanya membebani
kewajiban dan aturan yang dimuat didalamnya berisi tentang perintah dan
larangan.
2. Kaidah
kesusilaan
Kaidah
ini merupakan sebuah aturan yang asal usulnya dari hatinya sendiri, yang
bertujuan untuk menyempurnakan manusia agar tidak jadi penjahat. Sanksi dari
kaidah ini juga dari dirinya sendiri seperti rasa bersalah. Daya kerjanya
kaidah ini membebani kewajiban.
3. Kaidah
kesopanan
Kaidah
ini merupakan sebuah aturan yang asal usulnya dari masyarakat atau kekuatan
luar, mempunyai sifat yang memaksa, tujuannya adalah agar manusia bertindak
melakukan kewajibannya dan orang lain tidak menjadi korban. Daya kerja kaidah
kesopanan ini membebani kewajiban. Kaidah ini bisa dikatakan sebuah bentuk
kesepakatan bersama, sehingga sanksi bagi yang melangggar akan langsung dari
masyarakat.
4. Kaidah
hukum
Kaidah
ini merupakan sebuah aturan yang berasal dari kekuatan luar, ditujukan pada
sikap lahir, bertujuan untuk menjaga ketertiban. Daya kerjanya membebani
kewajiban dan memberikan hak, serta mempunyai sanksi yang tegas dan jelas.
Dari pemaparan mengenai
kaidah sosial tersebut dan macamnya, akau mempunyai pengalaman yang menarik tentang
perbutan yang melanggar kaidah sosial, tetapi ini tidak patut untuk dicontoh,
simak baik-baik ya kawan...
Cerita
ini berawal ketika aku baru saja masuk di semester empat. Yaa... saat itu
perkuliahan semester empat baru saja dimulai kegiatan belajarnya sekitar 2
minggu. Memang sih belum begitu banyak tugas yang menghimpit, namun karena ada
beberapa dosen yang merekomendasikan untuk memiliki buku tertentu untuk
menunjang kegiatan belajar, maka dalam benak setiap mahasiswa pasti
menginginkan juga untuk memiliki buku tersebut apapun bentuknya. Bisa buku asli
ataupun hanya fotokopi. Dikarenakan pada saat itu belum begitu kenal dan akrab
dengan dosennya sehingga tidak berani untuk meminjam milik beliau apalagi malah
untuk difotokopi.
Selepas
kegiatan perkuliahan selesai aku dan sahabatku ngobrol-ngobrol tentang
keinginan kita untuk bisa memiliki buku yang direkomendasikan dosen kemarin.
Akhirnya aku dan sahabatku langsung berkelililing ke toko buku sekitar kampus,
namun sama sekali tak membuahkan hasil. Di perjalan pulang aku teringat bahwa
dosen kemarin juga berpesan bahwa jika di toko buku sekitar kampus tidak ada
maka bisa mencari ke toko buku wilis yang ada di Malang. Dan pada akhirya aku
dan sahabatku memutuskan untuk pergi ke Malang.
Keputusan
tersebut memang begitu cepat ku ambil karena aku benar-benar ingin segera
memiliki buku itu. Dan atas saran sahabatku sebaiknya membicarakan masalah ini
ke teman-teman sekelas, tetapi pada saat aku mengajak teman-teman untuk
menemani aku dan sahabatku ke Malang, eee,.. teman-temanku tak ada yang
merespon dan banyak alasan ini itu. Melihat hal tersebut aku dan sahabatku
berunding tentang bagaimana langkah selanjutnya, apakah akan tetap pergi ke
Malang atau tidak. Dan akhirnya kita bersepakat untuk tetap pergi ke Malang.
Tepat di hari Minggu
sekitar pukul 13.00 aku menghubungi orang tuaku dan meminta izin untuk pergi ke
Malang, karena pada saat itu aku sedang berada di Pondok , jadi harus izin ke
Abah (sebutan bagi pemimpin pondok pesantren) dan orang tua ku dirumah. Pada
saat meminta izin tersebut aku terpaksa harus berbohong kepada Bapak dan ibuku
bahwa aku pergi ke Malang bersama teman-teman, padahal aku kesana hanya berdua
dengan sahabatku. Semua itu kulakukan agar aku diizinkan, dan dengan semua
lasan yang ku ajukan, kedua orang tuaku mengizinkan.
Setelah
izin ku kantongi, aku dan sahabatku langsung bergegas menuju Malang tanpa tahu
akan keadaan ataupun alamat toko buku itu. Aku hanya berpegang pada tanda panah
atau petunjuk jalan arah menuju Malang. Tak ada pengalaman sedikitpun akan
lingkungan di Malang, bagiku yang terpenting adalah mengikuti petunjuk dan
segera sampai di toko buku itu sebelum tutup tokonya.
Perlahan
lahan jalan arah ke Malang telah berhasil ku lalui, tiba pada saat di tikungan
setelah gerbang “selamat datang di kota Malang” disitu terdapat segerumbulan
polisi yang sedang melakukan razia lalu lintas. Astaghfirullah...kendaraanku
dihentikan oleh polisi dan diminta untuk menunjukkan kelengkapan surat
berkendara, jikalu tadi aku yang memboncengkan pasti tak akan kena denda
tilangan, akan tetapi tadi yang memboncengkan itu sahabatku dan dia tidak
mempunyai SIM, mau tidak mau kita terkena tilang dan membayar denda sebesar Rp.
50.000,-. Selesai perkara itu, aku langsung melanjutkan perjalanan. Apesnya
lagi, ditengah perjalan itu hujan turun begitu deras dan kita tidak membawa jas
hujan. Mengingat kita mengejar waktu yang semakin malam, aku tak menghiraukan
hujan dan tetap memacu kendaraan menuju Wilis.
Alhamdulillah, sekitar
ba’da adzan maghrib aku dan temenku sampai
di Toko buku Wilis, dan disitu kakakq menelpon lalu dia menanyakan
keadanku. Saat itu juga aku langsung mengaku dan menceritakan sebenarnya dengan
jujur apa yang telah aku perbuat. Dia langsung memarahiku di telfon, dan
menyarankan ku untuk tidak langsung pulang karena hari telah malam. Dan pada
akhirnya setelah selesai aku membeli buku, aku langsung mencari tempat kosnya
adik keponakanku yang kebetulan dekat dengan toko buku itu, dan aku menginap
disana semalam.
Keesokan
harinya, ketika masih subuh aku dan sahabtku bergegas untuk segera pulang
karena jam 8 itu sudah harus masuk kuliah. Di perjalanan pulang, ketika jalan
masih sepi dan disitu hanya kendaraanku saja yang melintas, tiba-tiba dari
belakang ada seorang pemuda yang juga mengendarai motor langsung mencoba untuk menggoda aku dan temanku dan
dia berusaha untuk mengambil barang-barangku. Tetapi alhamdulillah, beruntung
aku dan sahabatku bisa lolos dari kejadian itu dan bersyukur juga bisa sampai
ke Tulungagung dengan selamat.
Itulah
sedikit cerita pengalamanku yang mana disitu aku melanggar kaidah kepercayaan
yang salah satu didalamnya memuat perintah dari Allah untuk berbakti kepada
kedua orang tua tetapi aku malah melanggarnya dengan berbohong kepadanya. Itu
seharusnya tidak boleh dilakukan, karena jika perintah Allah itu dilanggar maka
kita akan menanggung dosanya. Disitu memang aku tidak langsung mendapatkan
hukuman secara fisik, tetapi Allah menunjukkan hukumannya lewat
kejadian-kejadian yang itu terjadi tanpa aku duga. Dengan kejadian itu aku
menjadi belajar bahwa memang benar bahwa ridho Allah itu berada di bawah Ridho
kedua orang tua, dan jika aku melanggarnya aku sendiri yang akan menanggung
akibatnya. Selain itu, dalam ceritaku tersebut aku juga melanggar kaidah hukum
karena mengendarai sepeda motor tanpa melengkapinya dengan surat-surat
berkendara. Semoga kejadian itu benar benar bisa dijadikan pengalaman
berharga,dan tidak perlu untuk diulangi
lagi..