Selasa, 06 Desember 2016

PERHATIAN KITA HARAPAN MEREKA (Menyoal Sebuah Upaya Mengeluargakan Penyandang Difabelitas)


Sebagai manusia biasa tentulah kita tidak memaksakan takdir yang telah digariskan Tuhan untuk hidup ini, memang ada sebuah pemahaman yang menyatakan bahwa tidak semua takdir itu hanya bisa kita terima dan dijalani dengan ikhlas, akan tetapi ada juga takdir yang sifatnya bisa dikatakan tidak mutlak dalam artian masih bisa berubah jika kita mau mengusahakannya. Seperti halnya manusia tidak semuanya diciptakan sempurna. Ada yang diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita tidak pernah mempermasalahkan kelebihan yang kita miliki, namun kekurangan lah yang selalu kita permasalahkan.  Kita ambil contoh adanya kaum difabel. Yang mana oleh tuhan dia diciptakan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Kebanyakan orang menganggap bahwa mereka para penyandang difabelitas itu mempunyai banyak kekurangan, memerlukan perlakuan istimewa, tidak bisa bergaul dengan orang biasa dan tidak pula sedikit dari para orang tua yang mempunyai anak dengan keterbatasan itu merasa malu dan tidak mau mengurus sendiri anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. Padahal mereka itu sama dengan kita, jika kita bisa berbuat yang tidak menyatikiti atau justru lebih memperparah keadaanya.
Bila kita bertemu dengan kaum difabel, tentu yang muncul dalam benak kita adalah rasa kasihan, tetapi sebenarnya bukan itu yang diinginkan. Tidak ada seorangpun didunia ini yang mempunyai keinginan untuk terlahir sebagai seorang difabel (berkebutuhan khusus). Tetapi karena suratan-NYA, harus diterima apa yang dikehendakiNYA. Dengan keterbatasan yang dia miliki, dia harus mampu melewati hari-harinya dan masa depannya. Sebagai seorang difabel (berkebutuhan khusus), harus mampu hidup secara wajar dan normal sebagaimana umumnya. Hal itu dimaksudkan agar kehidupannya tidak hanya terhenti kepada keputus asaan mengenai kondisi yang di rasa berbeda dengan manusia lainnya akan tetapi haruslah mendapatkan dukungan tertama dari orang yang ada di sekelilingnya agar dalam menjalani kehidupannya bisa lebih semangat dan yang tidak boleh dilupakan adalah rasa percaya diri.
Anggapan dari segelintir orang yang memandang kaum difabel ini sebagai minoritas yang dipermasalahkan kekurangannya menjadikan hal ini sebuah diskrimanasi yang berakibat munculnya suatu istilah yang mengkategorikan kaum difabel sebagi kaum yang termarginalkan. Mengapa bisa dikatakan seperti itu? Karena memang fakta yang berbicara, yang mana itu terlihat dari berbagai aspek kehidupan yang mendiskriminasikan kaum difabel. Diskriminasi yang dimaksudkan bukanlah sebuah kalimat cemooh, ejekan ataupun bahasa sarcasm lain yang beredar di kasus diskriminasi lain yang sering terjadi di Negeri ini. Diskriminasi yang terjadi adalah diskriminasi tanpa sadar yang justru itu lebih berbahaya, karena masyarakat umum secara tidak sadar melakukannya, ya mungkin tidaklah salah tapi cukup menyakiti. Contoh diskriminasi yang paling nyata dialami oleh kaum difabel atau penyandang nyata dalam dunia kerja.
Seperti yang kita ketahui, kita melihat seperti adanya jurang pemisah antara perusahaan dengan pencari kerja difabel. Perusahaan akan selalu mencari karyawan yang berkualitas dan berperforma tinggi. Orang normal saja masih mempunyai permasalahan dalam hal masuk kedalam sebuah lapangan pekerjaan apalagi seorang difabbel yang memerlukan bantuan khusus. Tak nampak memang adanya diskriminasi disini, namun berdsarkan data dari 4000 orang pencari kerja, ada 37 yang telah diterima dan ditempatkan. Pulau jawa masih lebih baik dibanding pulau lain di Indonesia yang memberikan kesempatan yang lebih kecil. Walau sudah ada peraturan standar PBB tentang persamaan kesempatanbagi para penyandang cacat (2013), yang mengisyaratkan perusahaan setidaknya memberikan kuota 1% untuk kaum difabel, nyatanya realisasi masih jarang ditemui.
Memang belum banyak  serapan tenaga kerja ini dikarenakan kurangnya pemahaman perusahaan maupun instansi pada mereka penyandang keterbatasan fisik. Akibatnya, hanya sedikit perusahaan yang menyediakan lapangan kerja bagi para difabel. Mereka beralasan bahwa kemampuan dan aksebilitas kantor untuk memenuhi kebutuhan kaum difabel itu. Cukup wajar jika perusahaan melakukan hal tersebut. Namun apakah itu fair bagi seorang difabel? Bukankan mereka juga mempunyai kemampuan, kemauan dan working attitude yang baik. Apakah fasilitas dan biaya menghambat mereka untuk berlari memberikan makna kepada masyarakat? Ya inilah sebuah diskriminasi kecil bagi mereka yang masih mempunyai toleransi tinggi di dalam masyarakat.
Pemerintah sebagai pengayom dan dianggap pelindung masyarakat, melihat hal yang terjadi dalam uraian diatas sebenarnya tidaklah tinggal diam, setidaknya pemerintah memberikan sedikit solusi yang membawa angin segar bagi kaum difabel untuk diakui di dunia kerja yakni dengan dikeluarkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang difabel, telah sedikit banyak telah membantu untuk mendorong perusahaan membuka lebih luas lapangan pekerjaan. Setidaknya sekarang sudah banyak intansi, seperti perbankan, BUMN, dan perusahaan multinasional mulai berbondong-bondong menyediakan pekerjaan bagi difabelitas.
Untuk mempekerjakan penyandang disabilitas memang berbeda dibading tenaga kerja normal, selain lebih membutuhkan kesabaran, ketekunan didalam mendidik mereka, juga empati yang tinggi. Hal  tersebut dilandasi kondisi dimana para penyandang disabilitas mempunyai tingkat kepekaan perasaan yang tinggi dibandingkan tenaga kerja normal. Untuk itu, diperlukan pendekatan psikologis yang baik agar kaum difabel  dengan segala  keterbatasannya  agar dapat lebih membuka diri untuk bersosialisasi dan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sebenarnya memperkerjakan tenaga kerja dari kaum difabel, mempunyai beberapa keuntungan  antara lain  :
  1. Lebih tekun, teliti dan fokus pada pekerjaan
  2. Tidak mudah terganggu pengaruh luar  (misalnya bermain HP, ngobrol dll)
  3.  Produktivitas lebih tinggi.
Dengan demikian sebenarnya alasan ketidaksempurnaan fisik tidaklah baik jika djadikan sebagai alasan utama untuk memarginalkan kaum difabel khususnya dalam dunia kerja.
Salah satu contoh perusahaan multinasional yang sangat popular dan terkenal hampir di seluruh dunia yang memberikan kesempatan kepada para kaum difabel untuk berkarya di perusahaannya yaitu PT. L’Oréal Indonesia. Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak dibidang produk kecantikan, bagi L’Oréal, kecantikan memiliki makna yang dalam dan luas. L’Oréal memiliki mimpi untuk mempersembahkan kecantikan bagi semua orang. Sharing Beauty With All, demikian L’Oréal meyakini konsep itu. Tidak hanya kecantikan yang berwujud dalam bentuk lahiriah, namun kecantikan yang menjelma dalam berbagai bentuk. L’Oréal percaya pada keindahan perlindungan dan pelestarian lingkungan dan keragaman hayati, keindahan dukungan terhadap komunitas dan perlindungan terhadap para karyawannya, keindahan kerja keras untuk mempersembahkan produk terbaik bagi para konsumennya, dan keindahan saling berbagi pada sebanyak mungkin lingkungan sosial.
Untuk mendukung visi Sharing Beauty With All, L’Oréal dengan bersungguh-sungguh menetapkan dan menjalankan komitmen yang telah digariskan. Untuk itu, L’Oréal telah menetapkan empat pilar utama yang mendukung konsep Sharing Beauty With All, yaitu:
1.      Inovasi berkelanjutan
2.      Kehidupan berkelanjutan
3.      Produksi berkelanjutan dan
4.      pengembangan berkelanjutan
Dari empat pilar tersebut yang didalamnya mempunyai program terhadap kaum difabel adalah yang nomor empat yaitu pengembangan berkelanjutan, yang isi programnya:.
a.    Komitmen Pengembangan berkelanjutan bagi karyawan dilakukan dengan memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi program kesehatan, perlindungan sosial dan pelatihan di manapun mereka berada.
  • perlindungan kesehatan diberikan bagi setiap karyawan sesuai dengan praktek terbaik di setiap Negara;
  •  perlindungan finansial bagi setiap karyawan dalam situasi tak terduga termasuk dalam kondisi disabilitas permanen; dan 
  •  memastikan setiap karyawan mendapatkan setidaknya satu sesi pelatihan setiap tahunnya.
b.    Komitmen Pengembangan berkelanjutan bagi pemasok strategis dilakukan dengan cara memastikan partisipasi mereka dalam program supplier sustainability.
1) Setiap pemasok strategis akan dievaluasi dan diseleksi berdasarkan kinerja sosial dan lingkungan.
2)   Setiap pemasok strategis akan dibantu untuk dapat memenuhi standar kebijakan berkelanjutan L’Oréal.
3) Setiap pemasok akan diberikan akses terhadap perangkat pelatihan L’Oréal agar dapat menyempurnakan standar berkelanjutannya.
4)  Sebanyak 20% dari pemasok strategis akan dipastikan tergabung dalam program Solidarity Sourcing L’Oréal.
c.    Komitmen Pengembangan berkelanjutan bagi masyarakat sekitar diterapkan dengan menargetkan 100.000 orang yang membutuhkan untuk memiliki penghidupan yang lebih layak.
  • Target ini akan diraih secara global melalui program-program Solidarity Sourcing, distribusi inklusif, profesionalisasi pekerja di bidang kecantikan, edukasi dan mentoring masyarakat, serta dengan mempekerjakan kaum difabel dan kelompok masyarakat yang kondisi sosial-ekonominya kurang beruntung. 
Program itu tidak hanya sebuah wacana saja melainkan benar-benar diterapkan dalam perusahaan tersebut. Salah satu karyawan penyandang cacat yang bekerja di PT. L’Oréal Indonesia yang berada di bagian gudang CEVA Logistic yaitu Moh. Ardiansyah. Pekerja berusia 20 tahun dan memiliki latar belakang pendidikan SMK otomotif ini mengalami keterbatasan fisik setelah kecelakaan motor yang ia alami. Ardiansyah kehilangan satu jari tangannya. Ketika diterima bekerja, Ardiansyah tidak menemukan kesulitan dalam mengerjakan tugas di gudang. Dia mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukannya berhubungan dengan packing kardus, termasuk memasang perekat dan menghitung barang. Ardiansyah bekerja berdasarkan shift yang dibagi tiga bagian; pagi, siang, dan malam.  Dan  baginya tidak ada masalah yang dihadapi yang berhubungan dengan kondisi fisik yang dialami.
Walaupun itu hanya satu yang bisa saya temukan terkait persamaan perlakuan terhadap penyandang cacat atau kaum difabel yang diberikan kesempatan kerja dalam sebuah perusaan dari beribu ribu perusahaan yang ada. Namun pastinya di perusahaan lain pun juga menerapkan hal tersebut. Dan itu sedikit banyak telah membuktikan bahwa sudah mulai ada upaya penipisan tindakan diskriminasi terhadap kaum difabel. Sehingga jika upaya seperti yang telah dilakukan oleh  PT. L’Oréal Indonesia itu bisa diterapkan oleh perusahaan lain bukan tidak mungkin akan semakin meningkatkan kesejahteraan terhadap semua masyarakat dan bisa hidup harmonis tanpa mempermasalahkan kekurangan ataupun perbedaan dari masing-masing individu.





Selasa, 22 November 2016

CONTOH SALAH SATU KORBAN DARI PENERAPAN HUKUM MODERN



Seperti halnya bibit pohon ketika ia ditanam pasti dari masa ke masa akan terus berkembang  jika masih dalam keadaan hidup. Begitu juga dengan peradaban masyarakat yang tentunya berkembang terus mengikuti perkembangan zaman yang awalnya menganut hukum tradisional bermertamorfosa ke hukum modern. Memang itu haruslah terjadi seperti demikian, karena jika tidak pastilah akan mengalami ketertinggalan dan monoton. Akan tetapi tidak semuanya hukum modern yang diterapkan menjadikan kehidupan menjdai lebih baik, justru yang terjadi dampaknya itu lebih mengarah pada hal-hal buruk dan itu sifatnya sangat sulit untuk dirubah ataupun bisa dikatakan tidak bisa direformasikan dalam waktu yang singkat. Salah satu contoh dari dampak penerapan hukum modern yang tidak baik yaitu tentang ketidakadilan.
Untuk lebih memperjelas keadaan tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus hukum yang penegakannya kurang efefktif dan berujung pada ketidakadilan. Seperti contohnya kasus dibawah ini yang dikutip dari Banyumasnews.com, yaitu kasus yang menimpa ibu Minasih dkk terkait Tuduhan mengambil buah randu senilai Rp. 12 ribu”
Di sebuah desa yang bernama Batang, berlangsung pemeriksaan terhadap Manisih (usia 40th saat itu/2009), Rusnoto (saat itu 14th), Juwono (saat itu 16th), dan Sri Suratmi (saat itu 19th), warga Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Mereka dituduh mengambil buah randu senilai Rp. 12 ribu dan didakwa dengan pasal 363 Ayat 1 ke 4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan, dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Kondisi mereka saat itu cukup mengenaskan, karena mereka tidak didampingi kuasa hukum dalam pemeriksaan di kepolisian. “Ini rekayasa hukum karena selama dalam pemeriksaan di Polres Batang, kami tidak pernah didampingi kuasa hukum,” kata terdakwa Manisih, usai sidang di Pengadilan Negeri Batang, ketika itu 17 Desember 2009. Kuasa hukum terdakwa, Muh Nuh, mengatakan ada sesuatu kejanggalan dari penyidik yang tidak melihat jika salah seorang terdakwanya masih di bawah umur. “Saya melihat hak-hak terdakwa, seperti perlindungan anak wajib untuk dilindungi tetapi penyidik tidak melihat ke arah itu,” katanya. Pengacara menyayangkan penyidik yang tidak melihat kondisi sosiologi hukum di masyarakat setempat. Menurut Muh Nuh seharusnya penyidik tidak perlu menahan dan membawa ke kasus pidana. Tidak harus dilaksanakan di pengadilan.
Kasus pencurian buah randu yang menjerat Manisih dan dua anak serta seorang keponakannya itu berakhir dengan vonis hukuman penjara 24 hari oleh hakim dalam persidangan yang digelar PN Batang. Hakim Ketua Tirolan Nainggolan memvonis Manisih dan keluarganya bersalah dan didakwa dengan pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP. Humas PN Batang, Lilik Sugihartono saat itu mengatakan meski pencurian randu ini termasuk perkara kecil, namun sudah memenuhi unsur tindak pidana. “Perbuatan pencurian ini sudah memenuhi unsur dalam pasal yang dikenakan itu, dan tidak menilai dari besar atau kecilnya perkara,” tandas Lilik. Meskipun Manisih dkk divonis 24 hari, namun hari itu juga Manisih dan keluarganya sudah boleh pulang ke rumah karena hukuman 24 hari itu sudah dipotong masa tahanan ketika ditahan di kepolisian. “Buat pembelajaran saja lah,” jelas lilik.
Kasus seperti diatas bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di Indonesia, masih banyak kasus yang disitu melibatkan rakyat-rakyat kecil dan pada akhirnya menjadi korban ketidak adilan hukum. Jika dibredeli tentang letak ketidak adilan dari kasus diatas itu bisa diawali dari, pada saat tahap pemeriksaan oleh kepolisian ibu Miniasih tidak didampingi oleh kuasa hukum, dan selanjutnya itu bisa dilihat dari keterangan Muh. Nuh yang menyatakan bahwa terjadi kejanggalan di penyidik mengingat salah satu terdakwanya masih dibawah umur yang seharusnya masih ada hak perlindungan anak dan dari aspek yang terakhir itu dapat dilihat dari keterangan Muh.Nuh yang juga menyatakan bahwa seharusnya kasus tersebut tidak perlu dimasukkan dalam kasus pidana dan tidak perlu dibawa ke Pengadilan, akan tetapi faktanya kasus tersebut tetap dimasukkan dalam kasus pidana dan diproses serta diputuskan di Meja Hijau, walaupun memang hukumannya tidak terlalu lama yaitu hanya 24 hari. Tapi tetap saja seharusnya jika yang merasa randunya itu dicuri tidak sampai membawa kasus tersebut di Pengadilan, akan lebih baik jika diselesaikan secra musyawarah dan jika masih dirasa kuranhg mungkin bisa dikenakan denda yang sifatnya bisa dicicil, mengikat ibu Miniasih dan keluarganya itu bukanlah berasal dari kalangan orang yang mampu.
Memang ketika ada barang milik kita yang itu diambil oleh orang lain, pasti akan merasakan jengkel, kesal, sakit hati dan pasti akan meluapkan emosinya dengan langsung mencari pelakunya serta menginginkan untuk pelakunya dihukum dengan setimpal sesuai dengan apa yang telah diperbuat. Akan tetapi yang perlu tetap diutamakan adalah rasa kemanusiaan, yang mana untuk mengambil sebuah keputusan harus benar-benar dipikirkan secara matang dan rasional. Sehingga tidaklah terjadi sesuatu yang bisa menyudutkan salah satu pihak dengan indikasi perlakuan diskriminasi.
Jika kita bisa lihat dari kasus lain yang disitu seharusnya menurut hukum diberikan hukuman  yang setimpal, malah tidak diberikan. Atau bisa juga hukuman tetap diberikan akan tetapi dengan masa tahana yang lebih ringan dan perlakuan istimewa baik dalam persidangan, proses penyidikan ataupun selama dalam masa tahanan. Seperti halnya kasus bebasnya Gayus Tambunan, terdakwa kasus penggelapan pajak, yang bisa melenggang keluar-masuk Rumah Tahanan Mako Brimob. Ia masih cukup bebas menghirup udara segar setelah divonis Mahkamah Agung. Ia masih sempat berjudi di kasino Marina Bay (Singapura), Venetian (Macau), dan Los Angeles. Ia juga pernah tertangkap kamera wartawan ketika ia menonton pertandingan tenis di Bali. Selepas kejadian mengherankan itu, muncul indikasi kecurigaan terhadap integritas pemerintah dan hukum di Indonesia. Konon dikatakan sipir penjara disuap sebesar 50 juta rupiah, dalam sekali pelepasan tahanan.
Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya menjalankannya.
Sedangkan dari kasus yang berbeda dari beberapa kasus diatas yaitu kasus penabrakan pejalan kaki ditrotoar oleh pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani Susanti. Setelah diselidiki sebab-musabab ia melakukan penabrakan tersebut, diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah ia hanya dikenakan vonis 6 tahun penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda; membunuh orang, merusak trotoar, mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol.
Itulah segelintir catatan kasus yang terjadi di Negeri ini yang sebenarnya menerapkan hukum modern akan tetapi malah tercipta sebuah rongga ketidak adilan serta mafia dalam hukum yang mana hukum bisa dibeli dan hukum bisa dikendalikan oleh orang-orang yang sifatnya disitu dia mempunyai banyak uang, kekuasaan, terpelajar dsb. Sehingga apapun yang di alami kalaupun dia sedang berurusan dengan hukum itu mereka bisa bersikap tenang tanpa ada rasa takut sekalipun. Sementara bagi masyarakat kecil yang tak punya harta dan kekusaan, tidaklah mempunyai daya untuk melakukan pembelaan terhadap hak-haknya. Seakan mereka bisa dibodohi oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa diatasnya. Jadi bisa dikatakan “hukum itu tumpul keatas dan runcing kebawah”