Rabu, 08 Maret 2017

ANALISIS PASAL 72, PASAL 73, PASAL 74 UU No. 12 Tahun 2011



   Pernyataan di dalam pasal 72 didalam ayat 1 ialah Rancangan Undang-Undang Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Kemudian pada ayat ke dua dijelaskan bahwa terkait maksud dari ayat 1 tersebut dilakukan dalam jangka waku paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.  Jadi setelah RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden maka akan diberi waktu paling lama 7 hari setelah persetujuan untuk selanjutnya di sampaikan kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
   Kemudian pasal selanjutnya yaitu pasal 73 yang terdiri dari empat ayat, secara keseluruhan dan runtut mengandung makna bahwa Rancangan Undang-Undang sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 72, maka RUU itu disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tandan tangan dalam jangka waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Akan tetapi jika dalam waktu yang telah ditetapkan tersebut Presiden tidak menandatanginya, maka RUU tersebut otomatis menjadi UU dan wajib untuk diundangkan. Didalam hal sahnya RUU itu haruslah termuat bunyi pengesahan seperti “ Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat 5 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan  kalimat pengesahan tersebut harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Seperti penjelasan diatas bahwa ada tidaknya tanda tangan dari Presiden dalam RUU yang telah disepakati bersama DPR itu, maka RUU tetaplah sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Jika konteknya itu Presiden menandatangani sebuah RUU, maka harus disegerakan Menteri Sekretaris negara memberikan nomor dan tahun pada UU tersebut. Kemudian RUU yang sudah berlaku harus segera dilakukan pengundangan. Maksud pengundangan itu ialah penempatan UU yang telah disahkan ke dalam Lembaran Negara (LN), yakni untuk batang tubung UU, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) yakni untuk penjelasan UU dan lampirannya, jika ada TLN. Sebelum sebuah UU ditempatkan dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU. Tujuan dari pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan mengikat mereka.
   Sementara itu, lanjut ke pasal 74 ayat 1 diterangkan bahwa dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksana Undang-Undang. Setelah itu dalam pasal 2 dinyatakan bahwa penetapan peraturan pemerintah dan peraturan lain yang diperlukan dalam penyelengaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagimnan dimaksud pada ayat 1. Penetapan yang dimaksudkan tersebut merupakan PERPU yang dalam hal ini sebagai peraturan yang bertindak sebagai Undang-Undang. Dikarenakan suatu masalah di dalam suatu UU memerlukan pengaturan lebih lanjut,  jikalaupun tidak ada perintah atau secara tegas disebutkan untuk diatur PERPU dalam suatu Undang-Undang maka PERPU dapat mengaturnya lebih lanjut sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang tersebut
   PERPU ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, dalam (Pasal 1 angka 4 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) yang harus segera diatasi, karena pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang relatif lama “noodverordeningsrecht” atau hak presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya tetapi cukup apabila menurut keyakinan presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturanyang mempunyai derajat Undang-Undang dan Perpu tidak dapat ditangguhkan sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan kedaan tersebut. Jangka waktu berlakunya perpu adalah terbatas, sebab ia harus dimintakan persetujuan DPR untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.
  Sebagai contoh mengenai peraturan pemerintah yang dalam isinya berfungsi sebagai peraturan pelaksana undang-undang yaitu salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diajukan, pada akhirnya setelah setengah tahun sejak awal tahun 2014 UU Desa disahkan, untuk dapat segera dilaksanakan pada tahun depan tepatnya tahun 2015. Berbagai hal diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini. Sosialisasi yang jelas serta bagaimana desa akan lebih mudah mengimplementasikan UU Desa adalah tugas setiap warga desa, serta menjaga agar sejumlah dana yang memang hanya segitu perdesa dapat digunakan semaksimal mungkin demi sebesar-besarnya kemakmuran warga masyarakat Desa. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh seorang admin keuangan desa yang tulisannya itu merupakan pengolahan dari tulisan seseorang yang bernama Suryaden yang ditulis pada tanggal 13 Juni 2014 yaitu:
PP tentang UU Desa akhirnya diterbitkan Pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Mei 2014 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keluarnya Peraturan Pelaksanaan UU tentang Desa ini berdasarkan pertimbangan untuk melaksanakan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berisi 91 halaman termasuk penjelasan. Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini didalamnya mengatur tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa, Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat desa, dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau sebutan yang lainnya.
1             1.     Kewenangan Desa
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi:
·         Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
·         Kewenangan lokal berskala Desa;
·    Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan
·    Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
·         Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya terdiri atas:
·         Sistem organisasi masyarakat adat;
·         Pembinaan kelembagaan masyarakat;
·         Pembinaan lembaga hukum adat;
·         Pengelolaan tanah kas desa; dan
·         Pengembangan peran masyarakat desa.
                   2. Kewenangan Lokal Berskala Desa
Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit di antaranya meliputi:
·         Pengelolaan tambatan perahu;
·         Pengelolaan Pasar Desa;
·         Pengelolaan tempat pemandian umum;
·         Pengelolaan jaringan irigrasi;
·         Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa;
·         Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
·         Pengelolaan Embung Desa;
·         Pengelolaan air minum berskala desa; dan
·         Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.
Selain kewenangan sebagaimana hal diatas. Menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal. (menurut Pasal 34 ayat 3 PP Desa).
3              3. Pemerintahan Desa
“Penjabat kepala desa berasal dari Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintahan daerah kabupaten/kota,”
Tentang pemilihan kepala desa, disebutkan pada Pasal 40 PP 43/2014 bahwa, pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota, dan dapat dilaksanakan bergelombang paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) tahun.
Jika terjadi kekosongan jabatan kepala desa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa yang serentak, maka bupati/walikota menunjuk penjabat kepala desa. Hal ini disebutkan pada Pasal 40 ayat (4) :
4           4. Jabatan Kepala Desa
Lama jabatan Kepala Desa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 ini, Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan dapat menjabat paling lama 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
“Dalam hal Kepala Desa mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya atau diberhentikan, Kepala Desa dianggap telah menjabat 1 (satu) periode masa jabatan,” Pasal 47 Ayat (5).
5            5. Perangkat Desa
Perangkat Desa yang berkedudukan sebagai unsur pembantu Kepala Desa terdiri dari:
·         Sekretariat Desa yang dipimpin oleh Sekretaris Desa;
·         Pelaksana Kewilayahan yang jumlahnya ditentukan secara proporsional; dan
·         Pelaksana Teknis, paling banyak 3 (tiga) seksi.
6           6. Syarat Menjadi Perangkat Desa
PP 43/2014 menegaskan, perangkat desa diangkat dari warga desa yang memenuhi persyaratan:
·         Berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
·         Berusia 20 tahun – 42 tahun;
·         Terdaftar sebagai penduduk desa dan paling tidak telah bertempat tinggal selama 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
·         Syarat lain yang ditentukan dalam peraturan daerah kabupaten/kota.
·         Penghasilan Tetap dan Tunjangan Kepala Desa
Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD), yang merupakan pendapatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pengalokasian ADD untuk Kepala Desa dan perangkat desa menggunakan perhitungan sebagai berikut: a. ADD yang berjumlah kurang dari Rp 500.000.000 digunakan maksimal 60%; b. ADD RP 500 juta – Rp 700 juta digunakan maksimal 50%; c. ADD Rp 700 juta – Rp 900 juta digunakan maksimal Rp 40%; dan d. ADD di atas Rp 900 juta digunakan maksimal 30%.
“Bupati/Walikota menetapkan besaran penghasilan tetap a. Kepala Desa; b. Sekretaris Desa paling sedikir 70% dari penghasilan Kepala Desa setiap bulan; c. Perangkat Desa paling sedikit 50% dari penghasilan tetap Kepala Desa setiap bulan,” bunyi Pasal 81 Ayat (4a,b,c), Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014.
PP 43/2014 menyebutkan juga tentang tunjangan Kepala Desa, bahwa, selain menerima penghasilan tetap, Kepala Desa dan Perangkat Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah, yang dapat bersumber dari APB Desa.
7              7. Penyelenggaraan Kewenangan Desa
“Seluruh pendapatan desa diterima dan disalurkan melalui rekening kas desa dan penggunaannya ditetapkan dalam APB desa,” Pasal 91 PP 43 Tahun 2014
Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan pada hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang didanai oleh APB Desa, dan juga dapat didanai oleh APBN dan APBD dari Provinsi maupun Kabupaten/Kota melalui ADD misalnya.
Anggaran untuk menyelenggarakan kewenangan Desa yang didapat atau ditugaskan oleh Pemerintah Pusat akan didanai dengan APBN melalui alokasi dari bagian anggaran Kementrian/Lembaga dan disalurkan melalui SKPD – Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota. Selain itu penyelenggaraan kewenangan desa yang didapatkan melalui Pemerintah Daerah akan didanai dengan APBD dari Propinsi, dan Kabupaten atau Kota.
8              8. Dana Desa
Dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Desa
Pemerintah mengalokasikan Dana Desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. Pasal 95 ayat 1 PP 43/2014.
Ditegaskan dalam PP 43 tahun 2014 bahwa pemerintah akan mengalokasikan dana desa dalam APBN setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dalam APBD kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran, paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK).
Pemerintah Daerah dalam PP No. 43 tahun 2014 seperti pemerintah kabupaten/kota akan mengalokasikan bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada desa paling sedikit 10 persen dari realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota. Adapun rumus perhitungannya adalah 60 persen dari bagian 10 persen itu dibagi secara merata kepada seluruh desa, dan 40 persen sisanya dibagi secara proporsional sesuai realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi dari desa masing-masing.

Selasa, 06 Desember 2016

PERHATIAN KITA HARAPAN MEREKA (Menyoal Sebuah Upaya Mengeluargakan Penyandang Difabelitas)


Sebagai manusia biasa tentulah kita tidak memaksakan takdir yang telah digariskan Tuhan untuk hidup ini, memang ada sebuah pemahaman yang menyatakan bahwa tidak semua takdir itu hanya bisa kita terima dan dijalani dengan ikhlas, akan tetapi ada juga takdir yang sifatnya bisa dikatakan tidak mutlak dalam artian masih bisa berubah jika kita mau mengusahakannya. Seperti halnya manusia tidak semuanya diciptakan sempurna. Ada yang diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita tidak pernah mempermasalahkan kelebihan yang kita miliki, namun kekurangan lah yang selalu kita permasalahkan.  Kita ambil contoh adanya kaum difabel. Yang mana oleh tuhan dia diciptakan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Kebanyakan orang menganggap bahwa mereka para penyandang difabelitas itu mempunyai banyak kekurangan, memerlukan perlakuan istimewa, tidak bisa bergaul dengan orang biasa dan tidak pula sedikit dari para orang tua yang mempunyai anak dengan keterbatasan itu merasa malu dan tidak mau mengurus sendiri anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. Padahal mereka itu sama dengan kita, jika kita bisa berbuat yang tidak menyatikiti atau justru lebih memperparah keadaanya.
Bila kita bertemu dengan kaum difabel, tentu yang muncul dalam benak kita adalah rasa kasihan, tetapi sebenarnya bukan itu yang diinginkan. Tidak ada seorangpun didunia ini yang mempunyai keinginan untuk terlahir sebagai seorang difabel (berkebutuhan khusus). Tetapi karena suratan-NYA, harus diterima apa yang dikehendakiNYA. Dengan keterbatasan yang dia miliki, dia harus mampu melewati hari-harinya dan masa depannya. Sebagai seorang difabel (berkebutuhan khusus), harus mampu hidup secara wajar dan normal sebagaimana umumnya. Hal itu dimaksudkan agar kehidupannya tidak hanya terhenti kepada keputus asaan mengenai kondisi yang di rasa berbeda dengan manusia lainnya akan tetapi haruslah mendapatkan dukungan tertama dari orang yang ada di sekelilingnya agar dalam menjalani kehidupannya bisa lebih semangat dan yang tidak boleh dilupakan adalah rasa percaya diri.
Anggapan dari segelintir orang yang memandang kaum difabel ini sebagai minoritas yang dipermasalahkan kekurangannya menjadikan hal ini sebuah diskrimanasi yang berakibat munculnya suatu istilah yang mengkategorikan kaum difabel sebagi kaum yang termarginalkan. Mengapa bisa dikatakan seperti itu? Karena memang fakta yang berbicara, yang mana itu terlihat dari berbagai aspek kehidupan yang mendiskriminasikan kaum difabel. Diskriminasi yang dimaksudkan bukanlah sebuah kalimat cemooh, ejekan ataupun bahasa sarcasm lain yang beredar di kasus diskriminasi lain yang sering terjadi di Negeri ini. Diskriminasi yang terjadi adalah diskriminasi tanpa sadar yang justru itu lebih berbahaya, karena masyarakat umum secara tidak sadar melakukannya, ya mungkin tidaklah salah tapi cukup menyakiti. Contoh diskriminasi yang paling nyata dialami oleh kaum difabel atau penyandang nyata dalam dunia kerja.
Seperti yang kita ketahui, kita melihat seperti adanya jurang pemisah antara perusahaan dengan pencari kerja difabel. Perusahaan akan selalu mencari karyawan yang berkualitas dan berperforma tinggi. Orang normal saja masih mempunyai permasalahan dalam hal masuk kedalam sebuah lapangan pekerjaan apalagi seorang difabbel yang memerlukan bantuan khusus. Tak nampak memang adanya diskriminasi disini, namun berdsarkan data dari 4000 orang pencari kerja, ada 37 yang telah diterima dan ditempatkan. Pulau jawa masih lebih baik dibanding pulau lain di Indonesia yang memberikan kesempatan yang lebih kecil. Walau sudah ada peraturan standar PBB tentang persamaan kesempatanbagi para penyandang cacat (2013), yang mengisyaratkan perusahaan setidaknya memberikan kuota 1% untuk kaum difabel, nyatanya realisasi masih jarang ditemui.
Memang belum banyak  serapan tenaga kerja ini dikarenakan kurangnya pemahaman perusahaan maupun instansi pada mereka penyandang keterbatasan fisik. Akibatnya, hanya sedikit perusahaan yang menyediakan lapangan kerja bagi para difabel. Mereka beralasan bahwa kemampuan dan aksebilitas kantor untuk memenuhi kebutuhan kaum difabel itu. Cukup wajar jika perusahaan melakukan hal tersebut. Namun apakah itu fair bagi seorang difabel? Bukankan mereka juga mempunyai kemampuan, kemauan dan working attitude yang baik. Apakah fasilitas dan biaya menghambat mereka untuk berlari memberikan makna kepada masyarakat? Ya inilah sebuah diskriminasi kecil bagi mereka yang masih mempunyai toleransi tinggi di dalam masyarakat.
Pemerintah sebagai pengayom dan dianggap pelindung masyarakat, melihat hal yang terjadi dalam uraian diatas sebenarnya tidaklah tinggal diam, setidaknya pemerintah memberikan sedikit solusi yang membawa angin segar bagi kaum difabel untuk diakui di dunia kerja yakni dengan dikeluarkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang difabel, telah sedikit banyak telah membantu untuk mendorong perusahaan membuka lebih luas lapangan pekerjaan. Setidaknya sekarang sudah banyak intansi, seperti perbankan, BUMN, dan perusahaan multinasional mulai berbondong-bondong menyediakan pekerjaan bagi difabelitas.
Untuk mempekerjakan penyandang disabilitas memang berbeda dibading tenaga kerja normal, selain lebih membutuhkan kesabaran, ketekunan didalam mendidik mereka, juga empati yang tinggi. Hal  tersebut dilandasi kondisi dimana para penyandang disabilitas mempunyai tingkat kepekaan perasaan yang tinggi dibandingkan tenaga kerja normal. Untuk itu, diperlukan pendekatan psikologis yang baik agar kaum difabel  dengan segala  keterbatasannya  agar dapat lebih membuka diri untuk bersosialisasi dan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sebenarnya memperkerjakan tenaga kerja dari kaum difabel, mempunyai beberapa keuntungan  antara lain  :
  1. Lebih tekun, teliti dan fokus pada pekerjaan
  2. Tidak mudah terganggu pengaruh luar  (misalnya bermain HP, ngobrol dll)
  3.  Produktivitas lebih tinggi.
Dengan demikian sebenarnya alasan ketidaksempurnaan fisik tidaklah baik jika djadikan sebagai alasan utama untuk memarginalkan kaum difabel khususnya dalam dunia kerja.
Salah satu contoh perusahaan multinasional yang sangat popular dan terkenal hampir di seluruh dunia yang memberikan kesempatan kepada para kaum difabel untuk berkarya di perusahaannya yaitu PT. L’Oréal Indonesia. Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak dibidang produk kecantikan, bagi L’Oréal, kecantikan memiliki makna yang dalam dan luas. L’Oréal memiliki mimpi untuk mempersembahkan kecantikan bagi semua orang. Sharing Beauty With All, demikian L’Oréal meyakini konsep itu. Tidak hanya kecantikan yang berwujud dalam bentuk lahiriah, namun kecantikan yang menjelma dalam berbagai bentuk. L’Oréal percaya pada keindahan perlindungan dan pelestarian lingkungan dan keragaman hayati, keindahan dukungan terhadap komunitas dan perlindungan terhadap para karyawannya, keindahan kerja keras untuk mempersembahkan produk terbaik bagi para konsumennya, dan keindahan saling berbagi pada sebanyak mungkin lingkungan sosial.
Untuk mendukung visi Sharing Beauty With All, L’Oréal dengan bersungguh-sungguh menetapkan dan menjalankan komitmen yang telah digariskan. Untuk itu, L’Oréal telah menetapkan empat pilar utama yang mendukung konsep Sharing Beauty With All, yaitu:
1.      Inovasi berkelanjutan
2.      Kehidupan berkelanjutan
3.      Produksi berkelanjutan dan
4.      pengembangan berkelanjutan
Dari empat pilar tersebut yang didalamnya mempunyai program terhadap kaum difabel adalah yang nomor empat yaitu pengembangan berkelanjutan, yang isi programnya:.
a.    Komitmen Pengembangan berkelanjutan bagi karyawan dilakukan dengan memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi program kesehatan, perlindungan sosial dan pelatihan di manapun mereka berada.
  • perlindungan kesehatan diberikan bagi setiap karyawan sesuai dengan praktek terbaik di setiap Negara;
  •  perlindungan finansial bagi setiap karyawan dalam situasi tak terduga termasuk dalam kondisi disabilitas permanen; dan 
  •  memastikan setiap karyawan mendapatkan setidaknya satu sesi pelatihan setiap tahunnya.
b.    Komitmen Pengembangan berkelanjutan bagi pemasok strategis dilakukan dengan cara memastikan partisipasi mereka dalam program supplier sustainability.
1) Setiap pemasok strategis akan dievaluasi dan diseleksi berdasarkan kinerja sosial dan lingkungan.
2)   Setiap pemasok strategis akan dibantu untuk dapat memenuhi standar kebijakan berkelanjutan L’Oréal.
3) Setiap pemasok akan diberikan akses terhadap perangkat pelatihan L’Oréal agar dapat menyempurnakan standar berkelanjutannya.
4)  Sebanyak 20% dari pemasok strategis akan dipastikan tergabung dalam program Solidarity Sourcing L’Oréal.
c.    Komitmen Pengembangan berkelanjutan bagi masyarakat sekitar diterapkan dengan menargetkan 100.000 orang yang membutuhkan untuk memiliki penghidupan yang lebih layak.
  • Target ini akan diraih secara global melalui program-program Solidarity Sourcing, distribusi inklusif, profesionalisasi pekerja di bidang kecantikan, edukasi dan mentoring masyarakat, serta dengan mempekerjakan kaum difabel dan kelompok masyarakat yang kondisi sosial-ekonominya kurang beruntung. 
Program itu tidak hanya sebuah wacana saja melainkan benar-benar diterapkan dalam perusahaan tersebut. Salah satu karyawan penyandang cacat yang bekerja di PT. L’Oréal Indonesia yang berada di bagian gudang CEVA Logistic yaitu Moh. Ardiansyah. Pekerja berusia 20 tahun dan memiliki latar belakang pendidikan SMK otomotif ini mengalami keterbatasan fisik setelah kecelakaan motor yang ia alami. Ardiansyah kehilangan satu jari tangannya. Ketika diterima bekerja, Ardiansyah tidak menemukan kesulitan dalam mengerjakan tugas di gudang. Dia mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukannya berhubungan dengan packing kardus, termasuk memasang perekat dan menghitung barang. Ardiansyah bekerja berdasarkan shift yang dibagi tiga bagian; pagi, siang, dan malam.  Dan  baginya tidak ada masalah yang dihadapi yang berhubungan dengan kondisi fisik yang dialami.
Walaupun itu hanya satu yang bisa saya temukan terkait persamaan perlakuan terhadap penyandang cacat atau kaum difabel yang diberikan kesempatan kerja dalam sebuah perusaan dari beribu ribu perusahaan yang ada. Namun pastinya di perusahaan lain pun juga menerapkan hal tersebut. Dan itu sedikit banyak telah membuktikan bahwa sudah mulai ada upaya penipisan tindakan diskriminasi terhadap kaum difabel. Sehingga jika upaya seperti yang telah dilakukan oleh  PT. L’Oréal Indonesia itu bisa diterapkan oleh perusahaan lain bukan tidak mungkin akan semakin meningkatkan kesejahteraan terhadap semua masyarakat dan bisa hidup harmonis tanpa mempermasalahkan kekurangan ataupun perbedaan dari masing-masing individu.