Pernyataan di dalam pasal 72 didalam ayat 1 ialah Rancangan
Undang-Undang Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-Undang. Kemudian pada ayat ke dua dijelaskan bahwa
terkait maksud dari ayat 1 tersebut dilakukan dalam jangka waku paling lama 7
hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Jadi setelah RUU tersebut disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden maka akan diberi waktu paling lama 7 hari setelah
persetujuan untuk selanjutnya di sampaikan kepada Presiden untuk disahkan
menjadi Undang-Undang.
Kemudian pasal selanjutnya yaitu pasal 73 yang terdiri dari empat
ayat, secara keseluruhan dan runtut mengandung makna bahwa Rancangan
Undang-Undang sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 72, maka RUU itu
disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tandan tangan dalam jangka waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden. Akan tetapi jika dalam waktu yang telah
ditetapkan tersebut Presiden tidak menandatanginya, maka RUU tersebut otomatis
menjadi UU dan wajib untuk diundangkan. Didalam hal sahnya RUU itu haruslah
termuat bunyi pengesahan seperti “ Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan
ketentuan pasal 20 ayat 5 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945” dan kalimat pengesahan tersebut
harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan
naskah Undang-Undang ke dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Seperti penjelasan diatas bahwa ada tidaknya tanda tangan dari Presiden
dalam RUU yang telah disepakati bersama DPR itu, maka RUU tetaplah sah menjadi
UU dan wajib diundangkan. Jika konteknya itu Presiden menandatangani sebuah
RUU, maka harus disegerakan Menteri Sekretaris negara memberikan nomor dan
tahun pada UU tersebut. Kemudian RUU yang sudah berlaku harus segera dilakukan
pengundangan. Maksud pengundangan itu ialah penempatan UU yang telah disahkan
ke dalam Lembaran Negara (LN), yakni untuk batang tubung UU, dan Tambahan
Lembaran Negara (TLN) yakni untuk penjelasan UU dan lampirannya, jika ada TLN. Sebelum
sebuah UU ditempatkan dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu
membubuhkan tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU. Tujuan
dari pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang
akan mengikat mereka.
Sementara itu, lanjut ke pasal 74 ayat 1 diterangkan bahwa dalam setiap
Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan
peraturan lainnya sebagai pelaksana Undang-Undang. Setelah itu dalam pasal 2
dinyatakan bahwa penetapan peraturan pemerintah dan peraturan lain yang
diperlukan dalam penyelengaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu
Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagimnan dimaksud pada ayat 1. Penetapan
yang dimaksudkan tersebut merupakan PERPU yang dalam hal ini sebagai peraturan
yang bertindak sebagai Undang-Undang. Dikarenakan suatu
masalah di dalam suatu UU memerlukan pengaturan lebih lanjut, jikalaupun tidak ada perintah atau
secara tegas disebutkan untuk diatur PERPU dalam suatu Undang-Undang maka PERPU
dapat mengaturnya lebih lanjut sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan
lebih lanjut Undang-Undang tersebut
PERPU ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa,
dalam (Pasal 1 angka 4 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
yang harus segera diatasi, karena pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu
yang relatif lama “noodverordeningsrecht” atau hak presiden untuk mengatur
kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya
tetapi cukup apabila menurut keyakinan presiden terdapat keadaan mendesak dan
dibutuhkan peraturanyang mempunyai derajat Undang-Undang dan Perpu tidak dapat
ditangguhkan sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan kedaan tersebut. Jangka
waktu berlakunya perpu adalah terbatas, sebab ia harus dimintakan persetujuan
DPR untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.
Sebagai contoh mengenai peraturan pemerintah yang dalam isinya berfungsi
sebagai peraturan pelaksana undang-undang yaitu salah satunya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diajukan, pada akhirnya setelah setengah
tahun sejak awal tahun 2014 UU Desa disahkan, untuk dapat segera dilaksanakan
pada tahun depan tepatnya tahun 2015. Berbagai hal diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini. Sosialisasi yang jelas serta bagaimana
desa akan lebih mudah mengimplementasikan UU Desa adalah tugas setiap warga
desa, serta menjaga agar sejumlah dana yang memang hanya segitu perdesa dapat
digunakan semaksimal mungkin demi sebesar-besarnya kemakmuran warga masyarakat
Desa. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh seorang admin keuangan desa yang
tulisannya itu merupakan pengolahan dari tulisan seseorang yang bernama
Suryaden yang ditulis pada tanggal 13 Juni 2014 yaitu:
PP tentang
UU Desa akhirnya diterbitkan Pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
30 Mei 2014 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Keluarnya Peraturan Pelaksanaan UU tentang Desa ini berdasarkan pertimbangan untuk
melaksanakan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa berisi 91 halaman termasuk penjelasan. Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini
didalamnya mengatur tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa, Tata
Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan Desa, Pembangunan Desa
dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa,
Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat desa, dan Pembinaan dan Pengawasan
Desa oleh Camat atau sebutan yang lainnya.
1 1. Kewenangan Desa
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi:
·
Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
·
Kewenangan lokal berskala Desa;
· Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan
· Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
·
Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya
terdiri atas:
·
Sistem organisasi masyarakat adat;
·
Pembinaan kelembagaan masyarakat;
·
Pembinaan lembaga hukum adat;
·
Pengelolaan tanah kas desa; dan
·
Pengembangan peran masyarakat desa.
2. Kewenangan Lokal Berskala Desa
Kewenangan lokal berskala desa
paling sedikit di antaranya meliputi:
·
Pengelolaan tambatan perahu;
·
Pengelolaan Pasar Desa;
·
Pengelolaan tempat pemandian umum;
·
Pengelolaan jaringan irigrasi;
·
Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa;
·
Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos
pelayanan terpadu;
·
Pengelolaan Embung Desa;
·
Pengelolaan air minum berskala desa; dan
·
Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah
pertanian.
Selain kewenangan sebagaimana hal
diatas. Menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi,
kondisi dan kebutuhan lokal. (menurut Pasal 34 ayat 3 PP Desa).
3 3. Pemerintahan Desa
“Penjabat kepala desa berasal dari
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintahan daerah kabupaten/kota,”
Tentang pemilihan kepala desa,
disebutkan pada Pasal 40 PP 43/2014 bahwa, pemilihan kepala desa dilaksanakan
secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota, dan dapat dilaksanakan
bergelombang paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) tahun.
Jika terjadi kekosongan jabatan
kepala desa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa yang serentak, maka
bupati/walikota menunjuk penjabat kepala desa. Hal ini disebutkan pada Pasal 40
ayat (4) :
4 4. Jabatan Kepala Desa
Lama jabatan Kepala Desa Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 ini, Kepala Desa memegang jabatan
selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan dapat menjabat
paling lama 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut.
“Dalam hal Kepala Desa mengundurkan
diri sebelum habis masa jabatannya atau diberhentikan, Kepala Desa dianggap
telah menjabat 1 (satu) periode masa jabatan,” Pasal 47 Ayat (5).
5 5. Perangkat Desa
Perangkat Desa yang berkedudukan
sebagai unsur pembantu Kepala Desa terdiri dari:
·
Sekretariat Desa yang dipimpin oleh Sekretaris Desa;
·
Pelaksana Kewilayahan yang jumlahnya ditentukan secara
proporsional; dan
·
Pelaksana Teknis, paling banyak 3 (tiga) seksi.
6 6. Syarat Menjadi Perangkat Desa
PP 43/2014 menegaskan, perangkat
desa diangkat dari warga desa yang memenuhi persyaratan:
·
Berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau
yang sederajat;
·
Berusia 20 tahun – 42 tahun;
·
Terdaftar sebagai penduduk desa dan paling tidak telah
bertempat tinggal selama 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
·
Syarat lain yang ditentukan dalam peraturan daerah
kabupaten/kota.
·
Penghasilan Tetap dan Tunjangan Kepala Desa
Penghasilan tetap kepala desa dan
perangkat desa dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa
yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD), yang merupakan pendapatan yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan ditransfer
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pengalokasian ADD untuk Kepala Desa
dan perangkat desa menggunakan perhitungan sebagai berikut: a. ADD yang
berjumlah kurang dari Rp 500.000.000 digunakan maksimal 60%; b. ADD RP 500 juta
– Rp 700 juta digunakan maksimal 50%; c. ADD Rp 700 juta – Rp 900 juta
digunakan maksimal Rp 40%; dan d. ADD di atas Rp 900 juta digunakan maksimal
30%.
“Bupati/Walikota menetapkan besaran
penghasilan tetap a. Kepala Desa; b. Sekretaris Desa paling sedikir 70% dari
penghasilan Kepala Desa setiap bulan; c. Perangkat Desa paling sedikit 50% dari
penghasilan tetap Kepala Desa setiap bulan,” bunyi Pasal 81 Ayat (4a,b,c), Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014.
PP 43/2014 menyebutkan juga tentang
tunjangan Kepala Desa, bahwa, selain menerima penghasilan tetap, Kepala Desa
dan Perangkat Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah, yang dapat
bersumber dari APB Desa.
7 7. Penyelenggaraan Kewenangan Desa
“Seluruh pendapatan desa diterima
dan disalurkan melalui rekening kas desa dan penggunaannya ditetapkan dalam APB
desa,” Pasal 91 PP 43 Tahun 2014
Penyelenggaraan kewenangan Desa
berdasarkan pada hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang didanai
oleh APB Desa, dan juga dapat didanai oleh APBN dan APBD dari Provinsi maupun
Kabupaten/Kota melalui ADD misalnya.
Anggaran untuk menyelenggarakan
kewenangan Desa yang didapat atau ditugaskan oleh Pemerintah Pusat akan didanai
dengan APBN melalui alokasi dari bagian anggaran Kementrian/Lembaga dan
disalurkan melalui SKPD – Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota.
Selain itu penyelenggaraan kewenangan desa yang didapatkan melalui Pemerintah
Daerah akan didanai dengan APBD dari Propinsi, dan Kabupaten atau Kota.
8 8. Dana Desa
Dana Pemerintah Pusat dan Daerah
untuk Desa
Pemerintah mengalokasikan Dana Desa
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran yang
diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja
daerah kabupaten/kota. Pasal 95 ayat 1 PP 43/2014.
Ditegaskan dalam PP 43 tahun 2014
bahwa pemerintah akan mengalokasikan dana desa dalam APBN setiap tahun anggaran
yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota.
Selain itu, pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dalam APBD kabupaten/kota
ADD setiap tahun anggaran, paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK).
Pemerintah Daerah dalam PP No. 43
tahun 2014 seperti pemerintah kabupaten/kota akan mengalokasikan bagian dari
hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada desa paling sedikit 10
persen dari realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
Adapun rumus perhitungannya adalah 60 persen dari bagian 10 persen itu dibagi
secara merata kepada seluruh desa, dan 40 persen sisanya dibagi secara
proporsional sesuai realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi dari desa
masing-masing.