Selasa, 22 November 2016

CONTOH SALAH SATU KORBAN DARI PENERAPAN HUKUM MODERN



Seperti halnya bibit pohon ketika ia ditanam pasti dari masa ke masa akan terus berkembang  jika masih dalam keadaan hidup. Begitu juga dengan peradaban masyarakat yang tentunya berkembang terus mengikuti perkembangan zaman yang awalnya menganut hukum tradisional bermertamorfosa ke hukum modern. Memang itu haruslah terjadi seperti demikian, karena jika tidak pastilah akan mengalami ketertinggalan dan monoton. Akan tetapi tidak semuanya hukum modern yang diterapkan menjadikan kehidupan menjdai lebih baik, justru yang terjadi dampaknya itu lebih mengarah pada hal-hal buruk dan itu sifatnya sangat sulit untuk dirubah ataupun bisa dikatakan tidak bisa direformasikan dalam waktu yang singkat. Salah satu contoh dari dampak penerapan hukum modern yang tidak baik yaitu tentang ketidakadilan.
Untuk lebih memperjelas keadaan tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus hukum yang penegakannya kurang efefktif dan berujung pada ketidakadilan. Seperti contohnya kasus dibawah ini yang dikutip dari Banyumasnews.com, yaitu kasus yang menimpa ibu Minasih dkk terkait Tuduhan mengambil buah randu senilai Rp. 12 ribu”
Di sebuah desa yang bernama Batang, berlangsung pemeriksaan terhadap Manisih (usia 40th saat itu/2009), Rusnoto (saat itu 14th), Juwono (saat itu 16th), dan Sri Suratmi (saat itu 19th), warga Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Mereka dituduh mengambil buah randu senilai Rp. 12 ribu dan didakwa dengan pasal 363 Ayat 1 ke 4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan, dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Kondisi mereka saat itu cukup mengenaskan, karena mereka tidak didampingi kuasa hukum dalam pemeriksaan di kepolisian. “Ini rekayasa hukum karena selama dalam pemeriksaan di Polres Batang, kami tidak pernah didampingi kuasa hukum,” kata terdakwa Manisih, usai sidang di Pengadilan Negeri Batang, ketika itu 17 Desember 2009. Kuasa hukum terdakwa, Muh Nuh, mengatakan ada sesuatu kejanggalan dari penyidik yang tidak melihat jika salah seorang terdakwanya masih di bawah umur. “Saya melihat hak-hak terdakwa, seperti perlindungan anak wajib untuk dilindungi tetapi penyidik tidak melihat ke arah itu,” katanya. Pengacara menyayangkan penyidik yang tidak melihat kondisi sosiologi hukum di masyarakat setempat. Menurut Muh Nuh seharusnya penyidik tidak perlu menahan dan membawa ke kasus pidana. Tidak harus dilaksanakan di pengadilan.
Kasus pencurian buah randu yang menjerat Manisih dan dua anak serta seorang keponakannya itu berakhir dengan vonis hukuman penjara 24 hari oleh hakim dalam persidangan yang digelar PN Batang. Hakim Ketua Tirolan Nainggolan memvonis Manisih dan keluarganya bersalah dan didakwa dengan pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP. Humas PN Batang, Lilik Sugihartono saat itu mengatakan meski pencurian randu ini termasuk perkara kecil, namun sudah memenuhi unsur tindak pidana. “Perbuatan pencurian ini sudah memenuhi unsur dalam pasal yang dikenakan itu, dan tidak menilai dari besar atau kecilnya perkara,” tandas Lilik. Meskipun Manisih dkk divonis 24 hari, namun hari itu juga Manisih dan keluarganya sudah boleh pulang ke rumah karena hukuman 24 hari itu sudah dipotong masa tahanan ketika ditahan di kepolisian. “Buat pembelajaran saja lah,” jelas lilik.
Kasus seperti diatas bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di Indonesia, masih banyak kasus yang disitu melibatkan rakyat-rakyat kecil dan pada akhirnya menjadi korban ketidak adilan hukum. Jika dibredeli tentang letak ketidak adilan dari kasus diatas itu bisa diawali dari, pada saat tahap pemeriksaan oleh kepolisian ibu Miniasih tidak didampingi oleh kuasa hukum, dan selanjutnya itu bisa dilihat dari keterangan Muh. Nuh yang menyatakan bahwa terjadi kejanggalan di penyidik mengingat salah satu terdakwanya masih dibawah umur yang seharusnya masih ada hak perlindungan anak dan dari aspek yang terakhir itu dapat dilihat dari keterangan Muh.Nuh yang juga menyatakan bahwa seharusnya kasus tersebut tidak perlu dimasukkan dalam kasus pidana dan tidak perlu dibawa ke Pengadilan, akan tetapi faktanya kasus tersebut tetap dimasukkan dalam kasus pidana dan diproses serta diputuskan di Meja Hijau, walaupun memang hukumannya tidak terlalu lama yaitu hanya 24 hari. Tapi tetap saja seharusnya jika yang merasa randunya itu dicuri tidak sampai membawa kasus tersebut di Pengadilan, akan lebih baik jika diselesaikan secra musyawarah dan jika masih dirasa kuranhg mungkin bisa dikenakan denda yang sifatnya bisa dicicil, mengikat ibu Miniasih dan keluarganya itu bukanlah berasal dari kalangan orang yang mampu.
Memang ketika ada barang milik kita yang itu diambil oleh orang lain, pasti akan merasakan jengkel, kesal, sakit hati dan pasti akan meluapkan emosinya dengan langsung mencari pelakunya serta menginginkan untuk pelakunya dihukum dengan setimpal sesuai dengan apa yang telah diperbuat. Akan tetapi yang perlu tetap diutamakan adalah rasa kemanusiaan, yang mana untuk mengambil sebuah keputusan harus benar-benar dipikirkan secara matang dan rasional. Sehingga tidaklah terjadi sesuatu yang bisa menyudutkan salah satu pihak dengan indikasi perlakuan diskriminasi.
Jika kita bisa lihat dari kasus lain yang disitu seharusnya menurut hukum diberikan hukuman  yang setimpal, malah tidak diberikan. Atau bisa juga hukuman tetap diberikan akan tetapi dengan masa tahana yang lebih ringan dan perlakuan istimewa baik dalam persidangan, proses penyidikan ataupun selama dalam masa tahanan. Seperti halnya kasus bebasnya Gayus Tambunan, terdakwa kasus penggelapan pajak, yang bisa melenggang keluar-masuk Rumah Tahanan Mako Brimob. Ia masih cukup bebas menghirup udara segar setelah divonis Mahkamah Agung. Ia masih sempat berjudi di kasino Marina Bay (Singapura), Venetian (Macau), dan Los Angeles. Ia juga pernah tertangkap kamera wartawan ketika ia menonton pertandingan tenis di Bali. Selepas kejadian mengherankan itu, muncul indikasi kecurigaan terhadap integritas pemerintah dan hukum di Indonesia. Konon dikatakan sipir penjara disuap sebesar 50 juta rupiah, dalam sekali pelepasan tahanan.
Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya menjalankannya.
Sedangkan dari kasus yang berbeda dari beberapa kasus diatas yaitu kasus penabrakan pejalan kaki ditrotoar oleh pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani Susanti. Setelah diselidiki sebab-musabab ia melakukan penabrakan tersebut, diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah ia hanya dikenakan vonis 6 tahun penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda; membunuh orang, merusak trotoar, mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol.
Itulah segelintir catatan kasus yang terjadi di Negeri ini yang sebenarnya menerapkan hukum modern akan tetapi malah tercipta sebuah rongga ketidak adilan serta mafia dalam hukum yang mana hukum bisa dibeli dan hukum bisa dikendalikan oleh orang-orang yang sifatnya disitu dia mempunyai banyak uang, kekuasaan, terpelajar dsb. Sehingga apapun yang di alami kalaupun dia sedang berurusan dengan hukum itu mereka bisa bersikap tenang tanpa ada rasa takut sekalipun. Sementara bagi masyarakat kecil yang tak punya harta dan kekusaan, tidaklah mempunyai daya untuk melakukan pembelaan terhadap hak-haknya. Seakan mereka bisa dibodohi oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa diatasnya. Jadi bisa dikatakan “hukum itu tumpul keatas dan runcing kebawah”