Seperti
halnya bibit pohon ketika ia ditanam pasti dari masa ke masa akan terus
berkembang jika masih dalam keadaan
hidup. Begitu juga dengan peradaban masyarakat yang tentunya berkembang terus
mengikuti perkembangan zaman yang awalnya menganut hukum tradisional
bermertamorfosa ke hukum modern. Memang itu haruslah terjadi seperti demikian,
karena jika tidak pastilah akan mengalami ketertinggalan dan monoton. Akan
tetapi tidak semuanya hukum modern yang diterapkan menjadikan kehidupan menjdai
lebih baik, justru yang terjadi dampaknya itu lebih mengarah pada hal-hal buruk
dan itu sifatnya sangat sulit untuk dirubah ataupun bisa dikatakan tidak bisa direformasikan
dalam waktu yang singkat. Salah satu contoh dari dampak penerapan hukum modern
yang tidak baik yaitu tentang ketidakadilan.
Untuk
lebih memperjelas keadaan tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus hukum yang
penegakannya kurang efefktif dan berujung pada ketidakadilan. Seperti contohnya
kasus dibawah ini yang dikutip dari Banyumasnews.com, yaitu kasus yang menimpa
ibu Minasih dkk terkait “Tuduhan mengambil
buah randu senilai Rp. 12 ribu”
Di sebuah desa yang bernama Batang, berlangsung
pemeriksaan terhadap Manisih
(usia 40th saat itu/2009), Rusnoto (saat itu 14th), Juwono (saat itu 16th), dan
Sri Suratmi (saat itu 19th), warga Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten
Batang, Jawa Tengah. Mereka dituduh mengambil buah randu senilai Rp. 12 ribu
dan didakwa dengan pasal 363 Ayat 1 ke 4 KUHP tentang Pencurian dengan
Pemberatan, dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Kondisi mereka saat itu cukup mengenaskan, karena
mereka tidak didampingi kuasa hukum dalam pemeriksaan di kepolisian. “Ini
rekayasa hukum karena selama dalam pemeriksaan di Polres Batang, kami tidak
pernah didampingi kuasa hukum,” kata terdakwa Manisih, usai sidang di
Pengadilan Negeri Batang, ketika itu 17 Desember 2009. Kuasa hukum terdakwa,
Muh Nuh, mengatakan ada sesuatu kejanggalan dari penyidik yang tidak melihat
jika salah seorang terdakwanya masih di bawah umur. “Saya melihat hak-hak
terdakwa, seperti perlindungan anak wajib untuk dilindungi tetapi penyidik
tidak melihat ke arah itu,” katanya. Pengacara menyayangkan penyidik yang tidak
melihat kondisi sosiologi hukum di masyarakat setempat. Menurut Muh Nuh
seharusnya penyidik tidak perlu menahan dan membawa ke kasus pidana. Tidak
harus dilaksanakan di pengadilan.
Kasus pencurian buah randu yang menjerat Manisih dan
dua anak serta seorang keponakannya itu berakhir dengan vonis hukuman penjara
24 hari oleh hakim dalam persidangan yang digelar PN Batang. Hakim Ketua
Tirolan Nainggolan memvonis Manisih dan keluarganya bersalah dan didakwa dengan
pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP. Humas PN Batang, Lilik Sugihartono saat itu
mengatakan meski pencurian randu ini termasuk perkara kecil, namun sudah
memenuhi unsur tindak pidana. “Perbuatan pencurian ini sudah memenuhi unsur
dalam pasal yang dikenakan itu, dan tidak menilai dari besar atau kecilnya
perkara,” tandas Lilik. Meskipun Manisih dkk divonis 24 hari, namun hari itu
juga Manisih dan keluarganya sudah boleh pulang ke rumah karena hukuman 24 hari
itu sudah dipotong masa tahanan ketika ditahan di kepolisian. “Buat pembelajaran
saja lah,” jelas lilik.
Kasus seperti diatas bukanlah kasus yang pertama kali
terjadi di Indonesia, masih banyak kasus yang disitu melibatkan rakyat-rakyat
kecil dan pada akhirnya menjadi korban ketidak adilan hukum. Jika dibredeli
tentang letak ketidak adilan dari kasus diatas itu bisa diawali dari, pada saat
tahap pemeriksaan oleh kepolisian ibu Miniasih tidak didampingi oleh kuasa
hukum, dan selanjutnya itu bisa dilihat dari keterangan Muh. Nuh yang
menyatakan bahwa terjadi kejanggalan di penyidik mengingat salah satu
terdakwanya masih dibawah umur yang seharusnya masih ada hak perlindungan anak
dan dari aspek yang terakhir itu dapat dilihat dari keterangan Muh.Nuh yang
juga menyatakan bahwa seharusnya kasus tersebut tidak perlu dimasukkan dalam
kasus pidana dan tidak perlu dibawa ke Pengadilan, akan tetapi faktanya kasus
tersebut tetap dimasukkan dalam kasus pidana dan diproses serta diputuskan di
Meja Hijau, walaupun memang hukumannya tidak terlalu lama yaitu hanya 24 hari.
Tapi tetap saja seharusnya jika yang merasa randunya itu dicuri tidak sampai
membawa kasus tersebut di Pengadilan, akan lebih baik jika diselesaikan secra
musyawarah dan jika masih dirasa kuranhg mungkin bisa dikenakan denda yang
sifatnya bisa dicicil, mengikat ibu Miniasih dan keluarganya itu bukanlah
berasal dari kalangan orang yang mampu.
Memang ketika ada barang milik kita yang itu diambil
oleh orang lain, pasti akan merasakan jengkel, kesal, sakit hati dan pasti akan
meluapkan emosinya dengan langsung mencari pelakunya serta menginginkan untuk
pelakunya dihukum dengan setimpal sesuai dengan apa yang telah diperbuat. Akan
tetapi yang perlu tetap diutamakan adalah rasa kemanusiaan, yang mana untuk
mengambil sebuah keputusan harus benar-benar dipikirkan secara matang dan
rasional. Sehingga tidaklah terjadi sesuatu yang bisa menyudutkan salah satu
pihak dengan indikasi perlakuan diskriminasi.
Jika kita bisa lihat dari kasus lain yang disitu
seharusnya menurut hukum diberikan hukuman
yang setimpal, malah tidak diberikan. Atau bisa juga hukuman tetap
diberikan akan tetapi dengan masa tahana yang lebih ringan dan perlakuan
istimewa baik dalam persidangan, proses penyidikan ataupun selama dalam masa
tahanan. Seperti halnya kasus bebasnya Gayus Tambunan, terdakwa kasus
penggelapan pajak, yang bisa melenggang keluar-masuk Rumah Tahanan Mako Brimob.
Ia masih cukup bebas menghirup udara segar setelah divonis Mahkamah Agung. Ia
masih sempat berjudi di kasino Marina Bay (Singapura), Venetian (Macau), dan
Los Angeles. Ia juga pernah tertangkap kamera wartawan ketika ia menonton
pertandingan tenis di Bali. Selepas kejadian mengherankan itu, muncul indikasi
kecurigaan terhadap integritas pemerintah dan hukum di Indonesia. Konon
dikatakan sipir penjara disuap sebesar 50 juta rupiah, dalam sekali pelepasan
tahanan.
Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah
ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara Rp 40,75
miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara,
mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa tahanannya
dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan berakibat
pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai
Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut
adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA
terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan
itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya menjalankannya.
Sedangkan dari kasus yang berbeda
dari beberapa kasus diatas yaitu kasus penabrakan pejalan kaki ditrotoar oleh
pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani
Susanti. Setelah diselidiki sebab-musabab ia melakukan penabrakan
tersebut, diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan
sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah ia hanya dikenakan vonis 6 tahun
penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda; membunuh orang, merusak trotoar,
mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol.
Itulah segelintir catatan kasus yang
terjadi di Negeri ini yang sebenarnya menerapkan hukum modern akan tetapi malah
tercipta sebuah rongga ketidak adilan serta mafia dalam hukum yang mana hukum
bisa dibeli dan hukum bisa dikendalikan oleh orang-orang yang sifatnya disitu
dia mempunyai banyak uang, kekuasaan, terpelajar dsb. Sehingga apapun yang di
alami kalaupun dia sedang berurusan dengan hukum itu mereka bisa bersikap
tenang tanpa ada rasa takut sekalipun. Sementara bagi masyarakat kecil yang tak
punya harta dan kekusaan, tidaklah mempunyai daya untuk melakukan pembelaan
terhadap hak-haknya. Seakan mereka bisa dibodohi oleh pihak-pihak yang lebih
berkuasa diatasnya. Jadi bisa dikatakan “hukum itu tumpul keatas dan runcing
kebawah”